Minggu, 20 Mei 2012

MENGENAL CBM (COAL BED METHANE)



Batubara memiliki kemampuan menyimpan gas dalam jumlah yang banyak, karena permukaannya mempunyai kemampuan mengadsorpsi gas. Meskipun batubara berupa benda padat dan terlihat seperti batu yang keras, tapi di dalamnya banyak sekali terdapat pori-pori yang berukuran lebih kecil dari skala mikron, sehingga batubara ibarat sebuah spon. Kondisi inilah yang menyebabkan permukaan batubara menjadi sedemikian luas sehingga mampu menyerap gas dalam jumlah yang besar. Jika tekanan gas semakin tinggi, maka kemampuan batubara untuk mengadsorpsi gas juga semakin besar.
Gas yang terperangkap pada batubara sebagian besar terdiri dari gas metana, sehingga secara umum gas ini disebut dengan Coal Bed Methane atau disingkat CBM. Dalam klasifikasi energi, CBM termasuk unconventional energy (peringkat 3), bersama-sama dengan tight sand gasdevonian shale gas, dan gas hydrateHigh quality gas (peringkat 1) dan low quality gas (peringkat 2) dianggap sebagai conventional gas.


Produksi CBM
Di dalam lapisan batubara banyak terdapat rekahan (cleat), yang terbentuk ketika berlangsung proses pembatubaraan. Melalui rekahan itulah air dan gas mengalir di dalam lapisan batubara. Adapun bagian pada batubara yang dikelilingi oleh rekahan itu disebut dengan matriks (coal matrix), tempat dimana kebanyakan CBM menempel pada pori-pori yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian, lapisan batubara pada target eksplorasi CBM selain berperan sebagai reservoir, juga berperan sebagai source rock.
Mengenai pembentukan CBM, maka berdasarkan riset geosains organik dengan menggunakan isotop stabil karbon bernomor masa 13, dapat diketahui bahwa terdapat 2 jenis pola pembentukan.
Sebagian besar CBM adalah gas yang terbentuk ketika terjadi perubahan kimia pada batubara akibat pengaruh panas, yang berlangsung di kedalaman tanah. Ini disebut dengan proses thermogenesis. Sedangkan untuk CBM pada lapisan brown coal (lignit) yang terdapat di kedalaman kurang dari 200m, gas metana terbentuk oleh aktivitas mikroorganisme yang berada di lingkungan anaerob. Ini disebut dengan proses biogenesis. Baik yang terbentuk secara thermogenesis maupun biogenesis, gas yang terperangkap dalam lapisan batubara disebut dengan CBM.Sebagian besar CBM adalah gas yang terbentuk ketika terjadi perubahan kimia pada batubara akibat pengaruh panas, yang berlangsung di kedalaman tanah. Ini disebut dengan proses thermogenesis. Sedangkan untuk CBM pada lapisan brown coal (lignit) yang terdapat di kedalaman kurang dari 200m, gas metana terbentuk oleh aktivitas mikroorganisme yang berada di lingkungan anaerob. Ini disebut dengan proses biogenesis. Baik yang terbentuk secara thermogenesis maupun biogenesis, gas yang terperangkap dalam lapisan batubara disebut dengan CBM.



CBM bisa keluar (desorption) dari matriks melalui rekahan, dengan merendahkan tekanan air pada target lapisan. Hubungan antara kuantitas CBM yang tersimpan dalam matriks terhadap tekanan dinamakan kurva Langmuir Isotherm (proses tersebut berada pada suhu yang konstan terhadap perubahan tekanan). Untuk memperoleh CBM, sumur produksi dibuat melalui pengeboran dari permukaan tanah sampai ke lapisan batubara target. Karena di dalam tanah sendiri lapisan batubara mengalami tekanan yang tinggi, maka efek penurunan tekanan akan timbul bila air tanah di sekitar lapisan batubara dipompa (dewatering) ke atas. Hal ini akan menyebabkan gas metana terlepas dari lapisan batubara yang memerangkapnya, dan selanjutnya akan mengalir ke permukaan tanah melalui sumur produksi tadi. Selain gas, air dalam jumlah yang banyak juga akan keluar pada proses produksi ini.
Potensi CBM
Mengenai pembentukan CBM, maka berdasarkan riset geosains organik dengan menggunakan isotop stabil karbon bernomor masa 13, dapat diketahui bahwa terdapat 2 jenis pola pembentukan.


Kuantitas CBM berkaitan erat dengan peringkat batubara, yang makin bertambah kuantitasnya dari gambut hingga medium volatile bituminous, lalu berkurang hingga antrasit. Tentu saja kuantitas gas akan semakin banyak jika lapisan batubaranya semakin tebal.
Dari penelitian Steven dan Hadiyanto, 2005, (IAGI special publication) ada 11 cekungan batubara (coal basin) di Indonesia yang memiliki CBM, dengan 4 besar urutan cadangan sebagai berikut: 1. Sumsel (183 Tcf), 2. Barito (101.6 Tcf), 3. Kutai (80.4 Tcf), 4. Sum-Tengah (52.5 Tcf). Dengan kata lain sumber daya CBM di Sumsel sama dengan total (conventional) gas reserves di seluruh Indonesia.
Terkait potensi CBM ini, ada 2 hal yang menarik untuk diperhatikan:
Pertama, jika ada reservoir conventional gas (sandstone) dan reservoir CBM (coal) pada kedalaman, tekanan, dan volume batuan yang sama, maka volume CBM bisa mencapai 3 – 6 kali lebih banyak dari conventional gas. Dengan kata lain, CBM menarik secara kuantitas.
Kedua, prinsip terkandungnya CBM adalah adsorption pada coal matrix, sehingga dari segi eksplorasi faktor keberhasilannya tinggi, karena CBM bisa terdapat pada antiklin maupun sinklin. Secara mudahnya dapat dikatakan bahwa ada batubara ada CBM.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar